Istri pertamaku bernama Tiyem. Namun, tahun ketiga kami menikah, belum juga dikaruniani anak. Aku putus asa. Desakan demi desakan orang tua dan saudara membuatku semakin kalut. "Kawin lagi saja!" Kalimat itu hampir setiap hari aku dengar. Istri pertamaku mengizinkanku untuk kawin lagi meski aku harus merogoh kocek lebih dalam untuk tambahan membeli skincare dan jatah belanja.
Menginjak tahun kelima, istri keduaku yang bernama Ayu, meski parasnya tidak ayu, belum hamil juga. Kalut. Desakan itu muncul lagi. Seperti minum obat. Sehari tiga kali aku mendengar kalimat, "Kawin lagi saja!" Aku memberanikan diri meminta izin istri pertama dan kedua untuk kawin lagi. Dua kali tamparan. Aku merasakan pipiku panas. Tanpa diduga, kedua istriku meminta cerai dariku. Pasrah. Aku menuruti mereka.
Dua tahun berlalu. Status dudaku masih melekat seperti lem kayu. Beberapa kali, aku mendekati janda maupun perawan. Aku ditolak oleh mereka. Hingga aku bertemu kedua mantan istriku. Masing-masing menggendong bayi. Aku mendekat dan bertanya anak siapa mereka. Kedua istriku menjawab kedua bayi itu bayi mereka dengan suami baru yang sama.
Penulis: Ana Rahmawati Ningsih