Malam itu, Siti terbangun mendengar suara dering telepon. Ia bangun dari tempat tidur dan membuka pintu kamar. Sayang, ibu Siti, Rahmi terlebih dahulu mengangkat telepon itu dan berbicara secara menggebu. Kedua mata perempuan paruh baya itu berbinar. Siti mendengar percakapan ibunya dari balik pintu. Sang ibu menyebut beberapa kali nama juragan sawit terkaya di kampung. Siti terkejut. Ia mendengar ibunya menyetujui lamaran juragan sawit itu. Siti tersenyum bahagia sembari menutup pintu kamarnya.
Siti membayangkan sebuah pernikahan indah bersama Yusuf, anak juragan sawit itu. Yusuf dan Siti telah melewatkan masa berpacaran selama 3 tahun. Yusuf pernah berjanji akan memberitahu ayahnya bahwa ia akan melamar Siti setelah hari raya.
Keesokan harinya, Siti berdandan cantik. Ia memakai gaun hitam dan berkerudung dengan warna yang sama. Hitam adalah warna kesukaan Yusuf. Ibunya sangat senang dengan jawaban Siti bahwa anak gadisnya itu setuju dengan lamaran juragan sawit itu. Tak lama, juragan itu datang. Ia datang bersama istri dan anak laki-lakinya, Yusuf. Yusuf menunduk. Begitu juga istri juragan. Wajah pasrah mereka menandakan akan ada sebuah peristiwa yang menggegerkan. Benar saja, juragan sawit itu meminta izin untuk menikah dengan Siti. Siti akan dijadikan sebagai istri kedua. Siti terkesiap. Kedua matanya berkaca-kaca. Tapi, ibunya tersenyum bahagia. "Utangmu lunas," kata juragan itu kepada ibu Siti.
Penulis: Ana Rahmawati Ningsih